KATA PENGANTAR
Segala puji hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, hanya karena ridha, rahmat dan berkah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas Kewarganegaraan. Shalawat serta salam juga tak lupa penulis haturkan kepada suri tauladan kita, Nabi Muhammad Saw., juga untuk keluarga beliau, para sahabat, dan umat Islam yang senantiasa istiqamah di jalan-Nya. Penulis ucapkan juga banyak terimakasih kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Kewarganegaraan, Ibu Yulisnaningsih, S.Sos juga terimakasih kepada keluarga, sahabat karena telah memberikan kesempatan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat, lebih dan kurangnya dalam pembuatan dan pencetakan penulis haturkan mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan karena dapat membantu dalam penyelesaian makalah lain di kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam proses belajar mengajar dalam kelas. Atas perhatiannya penulis ucapkan
terima kasih.
Baturaja, 05 April 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dengan adanya rasa nasionalisme yang tinggi dalam kehidupan bangsa, maka akan mempermudahkan kita dalam memajukan bangsa Indonesia ini di kanca internasional serta memperbaiki pribadi-pribadi yang sudah melekat dan tertanam dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian nasionalisme itu ?
2. Apa sajakah unsur-unsur nasionalisme ?
3. Apakah faktor-faktor timbulnya nasionalisme ?
4. Apa tujuan nasionalisme ?
5. Apakah akibat munculnya nasionalisme ?
6. Rumusan dan Akar Permasalahan rasa nasionalisme
7. Implikasi dari nasionalisme.
8. Kebijakan Publik terhadap nasionalisme
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengetahui pengertian
atau makna dari rasa nasionalisme itu sendiri terhadap bangsa khususnya bangsa Indonesia.
D. Manfaat
1. Dapat memberikan pengetahuan tentang pentingnya rasa nasionalisme terhadap
suatu bangsa.
2. Dapat mempermudah kita dalam mempelajari bagaimana dan apa saja yang harus kita lakukan agar rasa nasionalisme itu tidak hanya ucapan belaka namun juga diiringi dengan tindakan.
BAB II
KERANGKA TEORI
MENUNJUKKAN SEMANGAT KEBANGSAAN
A. Pengertian
Nasionalisme berasal dari kata nation ( bangsa ). Nasionalisme adalah suatu gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai bangsa. Bangsa adalah sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu dan memiliki rasa persatuan yang timbul karena kesamaan pengalaman sejarah, serta memiliki cita-cita bersama yang ingin dilaksanakan di dalam negara yang berbentuk negara nasional.
B. Unsur-Unsur Nasionalisme
Semangat kebangsaan ( nasionalisme ) yang ada pada diri seseorang tidak datang dengan sendiri, tetapi dipengaruhi oleh unsur-unsur sebagai berikut.
a. Perasaan nasional
b. Watak nasional
c. Batas nasional ( yang memberikan pengaruh emosional dan ekonomis pada diri individu ).
d. Bahasa nasional
e. Peralatan nasional
f. Agama
C. Timbulnya Nasionalisme
Nasionalisme muncul dibelahan negara-negara dunia. Akan tetapi, faktor penyebab timbulnya nasionalisme di setiap benua berbeda.
Nasionalisme Eropa muncul disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
a. Munculnya paham rasionalisme dan romantisme.
b. Munculnya paham aufklarung dan kosmopolitanisme.
c. Terjadinya revolusi Prancis.
d. Reaksi atau agresi yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte.
Nasionalisme Asia muncul disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
a. Adanya kenangan akan kejayaan masa lampau.
b. Imperalisme
c. Pengaruh paham revolusi Prancis.
d. Adanya kemenangan Jepang atas Rusia.
e. Piagam Atlantic charter.
f. Timbulnya golongan terpelajar.
D. Tujuan Nasionalisme
Pada dasarnya nasionalisme yang muncul dibanyak negara memiliki tujuan sebagai berikut.
a. Menjamin kemauan dan kekuatan mempertahankan masyarakat nasional melawan musuh dari luar sehingga melahirkan semangat rela berkorban.
b. Menghilangkan Ekstremisme ( tuntutan yang berlebihan ) dari warga negara ( individu dan kelompok ).
E. Akibat Nasionalisme
Nasionalisme yang muncul di beberapa negara membawa akibat yang beraneka ragam. Akibat munculnya nasinalisme di beberapa negara adalah sebagai berikut.
a. Timbulnya negara nasional ( national state )
b. Peperangan
c. Imprialisme
d. Proteksionisme
e. Akibat sosial
F. Faktor Pendorong Munculnya Nasionalisme di Indonesia
Munculnya nasionalisme pada masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor intern yang mempengaruhi munculnya nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Timbulnya kembali golongan pertengahan, kaum terpelajar.
b. Adanya penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh seluruh rakyat dalam berbagai bidang kehidupan
c. Pengaruh golongan peranakan
d. Adanya keinginan untuk melepaskan diri dari imperialisme.
Faktor ekstern yang mempengaruhi munculnya nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut.
a.Faham-faham modern dari Eropa ( liberalisme, humanisme, nasionalisme, dan komunisme)
b.Gerakan pan-islamisme
c.Pergerakan bangsa terjajah di Asia
d.Kemenangan Rusia atas Jepang
G. Konsep Lain yang Berhubungan dengan Nasionalisme
Beberapa konsep atau istilah yang memiliki kaitan atau berhubungan dengan nasionalisme antara lain sebagai berikut.
a. Patriotisme
Patriotisme adalah sikap dan perilaku seseorang yang dilakukan dengan penuh semangat rela berkorban untuk kemerdekaan, kemajuan, kejayaan, dan kemakmuran bangsa. Seseorang yang memiliki sikap dan perilaku patriotik ditandai oleh adanya hal-hal sebagai berikut.
1).Rasa cinta pada tanah air
2).Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
3).Menempatkan persatuan, kesatuan, serta keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan
4).Berjiwa pembaharu
5).Tidak mudah menyerah
Konsep patriotik tidak selalu terjadi dalam lingkup bangsa dan negara, tetapi juga dalam lingkup sekolah dan desa atau kampung. Kita mungkin menemukan seorang siswa atau masyarakat berbuat sesuatu yang mempunyai arti sangat besar bagi sekolah atau bagi lingkungan desa atau kampung.
b. Chauvinisme
Chauvinisme adalah rasa cinta tanah air yang berlebihan dengan mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkn bangsa lain. Contoh Chauvinisme seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler dengan kalimat Deutschland Uber Alles in der Welt ( Jerman di atas segala-galanya dalam dunia ). Slogan ini kadang masih dipakai di Jerman unutk memberi semangat pada atlet dalam bertanding. Inggris juga punya slogan Right or Wrong is My County. Demikian pula Jepang yang menganggap bangsanya merupakan keturunan Dewa Matahari.
c. Sukuisme
Sukuisme adalah suatu paham yang memandang bahwa suku bangsanya lebih baik dibandingkan dengan suku bangsa yang lain, atau rasa cinta yang berlebihan terhadap suku bangsa sendiri.
A. Rasa Kebangsaan
Rasa kebangsaan adalah salah satu bentuk rasa cinta yang melahirkan jiwa kebersamaan pemiliknya. Untuk satu tujuan yang sama, mereka membentuk lagu, bendera, dan lambang. Untuk lagu ditimpali dengan genderang yang berpengaruh dan trompet yang mendayu-dayu sehingga lahirlah berbagai rasa. Untuk bendera dan lambang dibuat bentuk serta warna yang menjadi cermin budaya bangsa sehingga menimbulkan pembelaan yang besar dari pemiliknya.
Dalam kebangsaan kita mengenal adanya ras, bahasa, agama, batas wilayah, budaya dan lain-lain. Tetapi ada pula negara dan bangsa yang terbentuk sendiri dari berbagai ras, bahasa, agama, serta budaya. Rasa kebangsaan sebenarnya merupakan sublimasi dari Sumpah Pemuda yang menyatukan tekad menjadi bangsa yang kuat, dihormati, dan disegani di antara bangsa-bangsa di dunia.
Wawasan Nusantara dalam kehidupan nasional yang mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan harus tercermin dalam pola pikir, pola sikap, serta pola tindak yang senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Wawasan Nusantara menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada setiap strata di seluruh wilayah negara, sehingga menggambarkan sikap dan prilaku, paham, serta semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi merupakan identitas atau jati diri bangsa Indonesia.
Ikatan niai-nilai kebangsaan yang selama ini terpatri kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan pengejawantahan dari rasa cinta tanah air, bela negara, serta semangat patriotisme bangsa mulai luntur dan longgar bahkan hampir sirna. Nilai-nilai budaya gotong royong, kesediaan untuk saling menghargai, dan saling menghormati perbedaan, serta kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa yang dahulu melekat kuat dalam sanubari masyarakat yang dikenal dengan semangat kebangsaannya sangat kental terasa makin menipis.
B. Semangat Kebangsaan
Pengertian semangat kebangsaan atau nasionalisme, merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Dengan semangat kebangsaan yang tinggi, kekhawatiran akan terjadinya ancaman terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa akan dapat dielakkan. Dari semangat kebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban, dan dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Rasa kesetiakawanan sosial akan mempertebal semangat kebangsaan suatu bangsa. Semangat rela berkorban adalah kesediaan untuk berkorban demi kepentingan yang besar atau demi negara dan bangsa telah mengantarkan bangsa Indonesia untuk merdeka. Bagi bangsa yang ingin maju dalam mencapai tujuannya, selain memiliki semangat rela berkorban, juga harus didukung dengan jiwa patriotik yang tinggi. Jiwa patriotik akan melekat pada diri seseorang, manakala orang tersebut tahu untuk apa mereka berkorban.
C. Paham Kebangsaan
Paham kebangsaan merupakan pemahaman rakyat serta masyarakat terhadap bangsa dan negara Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Uraian rinci tentang paham kebangsaan Indonesia sebagai berikut.
Pertama, “atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa” pada 17 Agustus !945, Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia lahirlah sebuah bangsa yaitu “Bangsa Indonesia”, yang terdiri atas bermacam-macam suku, budaya, etnis, dan agama.
Kedua, bagaimana mewujudkan masa depan bangsa ? Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa perjuangan bangsa Indonesia telah mengantarkan rakyat Indonesia menuju suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Uraian tersebut adalah tujuan akhir bangsa Indonesia yaitu mewujudkan sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan masa depan bangsa Indonesia menuju ke masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah telah melakukan upaya-upaya melalui program pembangunan nasional baik fisik maupun nonfisik.
1. Akar Permasalahan Rasa Nasionalisme
Ketika eskalasi konflik masyarakat semakin sering muncul ke permukaan, beberapa jaringan LSM di Jakarta mengadakan semiloka yang bertajuk “Pluralisme, Konflik Sosial dan Perdamaian” dengan mengundang beberapa elemen masyarakat yang terlibat konflik, seperti dari Pontianak, Sampit, Poso, Maluku, Irian, Aceh dan beberapa pakar. Para peserta diminta untuk menyampaikan secara spontan, pemahaman mereka tentang “pluralisme dan Konflik” menurut mereka sendiri (bukan menurut kamus, pendapat orang atau buku). Beberapa peserta kemudian mendeskripsikan sendiri berdasarkan pengalaman masing-masing. Jawaban dari para peserta sangat menakjubkan, mereka yang nota bene bukan kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi mampu mendeskripsikannya secara nyata. Misalnya, pluralisme adalah kenyataan tentang perbedaan yang merupakan fakta ciptaan tuhan. Konflik dideskripsikan sebagai ketidakmampuan menerima perbedaan.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan, “apa akibat dari konflik yang berujung pada`kekerasan ?” Sebuah pertanyaan yang bukan saja menantang kita saat ini, tetapi juga memberi prospek ke depan, bagaimana kita mampu mengantisipasi dan mengelola dinamika masyarakat. Pertanyaan seperti ini sangat penting diajukan bukan saja kepada para peserta, tapi kita semua sebagai anak bangsa, mengingat Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat plural dan sangat potensial memunculkan konflik yang mengarah pada kekerasan.
Fakta menunjukkan bahwa sejak awal tahun 1999 (Ichsan Malik. 2003), satu tahun, setelah krisis ekonomi, yang kemudian berlanjut dengan krisis politik yang mengakibatkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru , meledaklah konflik sosial atau konflik antar kelompok masyarakat dengan menggunakan identitas agama dan etnis di berbagai propinsi di Indonesia seperti Maluku, Poso dan Sampit. Yang paling ekstrim konfliknya adalah Propinsi Maluku, dengan korban nyawa ribuan jiwa, 300 ribu orang menjadi pengungsi di negerinya sendiri, masyarakat terbelah menjadi dua berdasarkan identitas agama, kedua kelompok dilanda rasa putus asa, rasa dendam yang masih terus membara, serta ”luka psikologis” yang masih menganga pada sebahagian korban hingga saat ini.
Rentetan konflik yang telah memakan korban tak terhingga sepatutnya menjadi bahan renungan bagi kita semua, bahwa konflik kekerasan hanyalah meninggal luka yang tak berkesudahan. Konflik yang semakin meluas ini seyogyanya menjadi bahan pelajaran tentang perlunya rekonstruksi wacana dan praktek kebangsaan yang baru, di mana selama tiga dasawarsa terakhir mengalami disorientasi lewat konstruksi yang dipaksakan dan hanya memenuhi absolutisme negara. Sistim poitik Orde Baru adalah contoh bagaimana wawasan kebangsaan digunakan sebagai instrumen untuk memaksa warganya tunduk dan patuh atas nama nasionalisme dan kepentingan nasional.
Wawasan Kebangsaan: Mitos yang mulai pudar
Banyak kalangan mulai mempersoalkan mengapa sekarang ini paham kelompok atau golongan, sikap individualistik dan wawasan sempit lainnya semakin mengkristal dalam kehidupan masyarakat. Kenyataan ini mendorong mencuatnya kembali pembahasan mengenai pentingnya reaktualisasi wawasan kebangsaan. Nilai-nilai moral banyak dilanggar, kerukunan dirusak, dan kedamaian dicabik-cabik. Perkelahian antar etnis makin besar, pertarungan antar golongan makin keras, permusuhan antar agama makin meletup, pertikaian antar elite makin mengembang. Bahkan tawuran antar siswa makin menjadi-jadi. Itu semua melambangkan makin lemahnya manusia Indonesia sekarang dalam mengaplikasi nilai-nilai kebangsaan.
Samuel Hutingthon pernah berkomentar pada akhir abad ke-20, bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi paling besar untuk hancur, setelah Yugoslavia dan Uni Soviet akhir abad ke-20 ini. Demikian juga Cliffrod Gertz , antropolog yang Indonesianis ini pernah mengatakan; kalau bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya, dan solidaritas etnik, maka Indonesia akan pecah menjadi negara-negara kecil.
Masalah wawasan kebangsaan dalam negara kesatuan yang multietnik dan struktur masyarakatnya majemuk, seperti “srigala berbulu domba” atau penuh ambivalensi (ambigu). Perfomancenya menampakan sebuah keseimbangan (equillibrium) diantara struktur sosial, politik, dan kebudayaan, tetapi isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, paradoks, etnosentrisme, stereotipisme, dan konflik sosial yang tidak kunjung selesai.
Wawasan kebangsaan atau nasionalisme adalah ideologi yang memandang seluruh rakyat yang menginginkan membangun masa depannya secara bersama sebagai suatu nation atau bangsa. Ir Soekarno sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia amat gemar mengutip penjelasan Ernest Renan dan Otto Bauer. (Heriyadi, 2004). Ernest Renan menerangkan, nation adalah mereka yang mempunyai hasrat kuat untuk hidup bersama.
“Bangsa ialah jiwa, suatu asas rohani. Dua hal yang sesungguhnya hanya berwujud satu yang membentuk jiwa atau asas rohani itu. Yang satu terdapat dalam waktu yang silam, yang lain dalam waktu sekarang. Yang satu yakni memiliki bersama kenang-kenangan yang kaya raya, yang lain mempergunakan warisan yang diterima secara tidak terbagi. Bangsa tidak timbul sekonyong-konyong, melainkan hasil masa silam yang penuh dengan usaha, pengorbanan dan pengabdian.” (Dalam S Bahar: 2000).
Hal yang menjadi penekanan Renan, asumsi hidup sebagai suatu bangsa adalah suatu plebisit atau keputusan rakyat dan keputusan tersebut didasari oleh adanya keinginan dari segenap komponennya. Keinginan sendiri itulah yang akhirnya menjadi satu-satunya kriterium atau tanda pengenal dan pegangan yang sah dan harus selalu diperhatikan. Ketidakmampuan bangsa memelihara dan memenuhi keinginan komponen bangsa itu, akan menjadi pemicu awal gagalnya suatu bangsa menjaga kemampuan survivalnya.
Otto Bauer menambahkan suatu faktor lagi untuk terbentuknya bangsa, yaitu persamaan watak yang terbentuk dari persamaan nasib. Ciri khas suatu nation adalah adanya persamaan status dari seluruh rakyat walaupun beraneka ragam latar belakang agama, ras, etnik atau golongannya.
Dalam lingkup Indonesia, berkembang pula berbagai pemikiran yang membatasi pengertian wawasan kebangsaan. Salah satunya adalah pandangan Siswono Yudohusodo (1996) yang mengatakan, substansi dari rasa kebangsaan adalah kesadaran untuk bersatu sebagai suatu bangsa akibat kesamaan sejarah dan kepentingan masa depannya dan merupakan perekat yang mempersatukan sekaligus memberi dasar kepada jati diri bangsa. Operasionalisasi dari rasa kebangsaan itu kemudian disebut sebagai wawasan kebangsaan.
Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk memaknai pemahaman itu. (1) Adanya keputusan rakyat untuk bersatu sebagai bangsa. (2) Perasaan senasib dan sepenanggungan. (3) Adanya kepentingan bersama dan kepentingan dari unsur-unsur pembentuk bangsa. (4) Kesadaran mendahulukan kepentingan yang lebih besar ketimbang kepentingan pribadi atau golongan. (5) Semangat untuk mempertahankan rasa dan semangat kebangsaan itu.(6) Adanya kemampuan bangsa untuk secara terus-menerus memenuhi kepentingan unsur-unsur pembentuknya. (Heriyadi, 2004)
Dalam wawasan kebangsaan kita dewasa ini, unsur tadi dirasakan semakin mengalami kemunduran yang drastis. Bahkan ada yang mengatakan telah kehilangan “greget” . Misalnya, mencuatnya paham kelompok/golongan, miskin nasionalisme, warga bangsa seperti kehilangan daya rekat, konflik horizontal, konflik vertikal. (Ryakudu, 2004)
Karena itu, dalam upaya merekonstruksi konsepsi kebangsaan kita di era reformasi ini, setidaknya ada tiga tantangan yang terlebih dahulu harus mendapat perhatian serius. Pertama, jika kita mengartikan Indonesia sebagai nation state sebagaimana pembentukan nation state di Eropa, maka konsepsi kebangsaan kita memang telah “membingungkan” sejak awal (complecatted). Jika rasionalitas pembentukan nation state di Eropa adalah pengelompokkan sosiokultural yang dibangun bersama dalam dan melalui state, maka pembentukan nation state di Indonesia lebih karena “beban” politik yang mesti ditanggung sepeninggal hengkangnya pemerintah kolonial.
Kedua, nation dan state adalah dua domain yang berbeda namun berimpit posisinya dalam konteks pembentukan negara modern. Namun yang terjadi selama dekade rezim Orde Baru lebih sebagai perebutan dan penaklukan domain nation oleh state. Pluralitas diakui namun lebih bersifat artifisial dan berikutnya beranjak menjadi haram dalam pengelolaan wacana kebangsaan dan kenegaraan. Kebutuhan strategis yang hendak dielaborasi adalah bagaimana ada perimbangan baru antara wilayah nation dan state ini dalam lingkup Indonesia yang multikultural. Yang diharapkan kemudian adalah munculnya kebijakan-kebijakan politik yang lebih adil dan sensitif terhadap pluralitas keindonesiaan. Jika selama ini negara tampil sebagai aktor yang dominan di atas masyarakat, maka kerangka pengelolaan ke depan membutuhkan pelibatan yang lebih besar dari masyarakat.
Ketiga, kegagalan untuk menemukan satu faktor yang secara kuat dapat menumbuhkan kebanggaan kolektif atau membuat berbagai komponen masyarakat merasa satu. Identitas kolektif seperti Pancasila, yang sebelumnya dipercaya sebagai sumber perekat bangsa, seperti kehilangan makna, tenggelam oleh bangkitnya sentimen primordial yang cenderung eksklusif. Karena itu, pencarian kebanggaan kolektif merupakan kebutuhan yang mendesak sebagai upaya untuk merevitalisasi wawasan kebangsaan yang mulai menurun.
Namun, terlepas dari tiga tantang tersebut, hal pokok yang harus dipetik dan disepakati bahwa persatuan bangsa yang kita bangun tidak tersaji atas landasan dan kepentingan etnik, maupun primordialisme. Tidak juga bersifat temporer dan untuk waktu sementara. Persatuan nasional itu dibangun dan ditegakkan justru lebih didasari oleh landasan etik dan kesadaran bersama sebagai satu bangsa sehingga nilai-nilai etika kebangsaan yang menyangkut persatuan dan kesatuan terbangun cukup kuat untuk mengakomodasikan berbagai perbedaan dan bahkan konflik kepentingan.
Konflik Sosial: Keniscayaan Bangsa Multietnik
Kata konflik menurut Kamus Bahasa Indonesia berarti percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, atau clash antar manusia. Konflik seperti itu bisa timbul bila ada perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Sedangkan dalam pengertian yang umum (longgar), didefinisikan sebagai perbedaan sosio-kultural, ekonomi, politik, dan ideologis di antara berbagai kelompok masyarakat, pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan kolektif. Apalagi bangsa kita dianugerahi keanekaragaman sosio-kultural yang bahkan sering saling tumpang tindih. Karena itu wajar jika bangsa yang heterogen ini menyimpan potensi konflik tinggi.
Sementara itu segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam ikatan-ikatan primordial dengan sub-kebudayaan yang berbeda sangat mudah sekali melahirkan konflik-konflik sosial. Dalam kondisi seperti ini, konflik akan terjadi dalam dua dimensi; dimensi pertama adalah konflik di tingkatan ideologis, konflik ini terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Dimensi kedua adalah konflik yang terjadi dalam tingkatan politis, pada konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat. (Nasikun, 1989).
Hal ini sesuai dengan konsep konflik yang definisikan oleh Lewis Coser, bahwa konflik sesungguhnya adalah usaha untuk memperebutkan status, kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang sifatnya terbatas, di mana pihak-pihak yang berkonflik bukan hanya berniat untuk memperoleh barang yang dimaksud tetapi juga berniat untuk menghancurkan lawannya. Dalam kondisi konflik, maka sadar ataupun tidak sadar setiap yang berselisih akan berusaha untuk meningkatkan dan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas di antara sesama anggotanya. Misalnya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama; mendirikan sekolah untuk memperkuat identitas kultural, meningkatkan sentimenitas etnosentrisme, stereotipisme, keagamaan dan usaha-usaha lain yang meningkatkan primordialisme.
Dengan struktur sosial yang sedemikian komplek, sangat rasional sekali bila Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antar etnik, kesenjangan sosial, dan sukar sekali terjadinya integrasi secara permanen. Hambatan demikian semakin nampak dengan jelas, jika diferensiasi sosial berdasarkan parameter suku bangsa jatuh berhimpitan (Coincided) dengan parameter lain (agama, kelas, ekonomi, dan bahasa), sehingga sentimen-sentimen yang bersumber dari parameter sosial yang satu cenderung berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber dari diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain. Konsolidasi parameter struktur sosial (Concolidated Social Structure) yang demikian menurut Peter Blau merupakan kendala yang paling besar bagi terciptanya integrasi sosial.
Sementara itu, secara antropologis diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial kemajemukan masyarakat Indonesia adalah; pertama, diferensiasi yang disebabkan oleh perbedaan ada istiadat (custome diferentiation) hal ini karena perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa. Kedua adalah diferensiasi yang disebabkan oleh struktural (strucural diferentiation), hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik secara adil, sehingga menyebabkan kesenjangan sosial di antara etnik yang berbeda. Pada zaman Hindia-Belanda masyarakat Indonesia digolongkan menjadi tiga golongan oleh antropolog Belanda Furnivall; yaitu golongan penjajah Belanda yang menempati tingkat pertama, kedua adalah golongan minoritas Cina, sedangkan golongan pribumi menempati tingkat yang ketiga.
Terlepas dari pendekatan konsep mana yang akan digunakan, tapi secara substansi semua konsep yang menjelaskan tentang heteregonitas (kemajemukan) ataupun masyarakat yang plural, pada hakekatnya tidak jauh berbeda (congruent). Pada satu sisi kemajemukan menyimpan kekayaan budaya dan hasanah tentang kehidupan bersama yang harmonis, jika integrasi berjalan dengan baik (menurut aksioma; structural fungsionalism approach). Tetapi pada sisi lain, kemajemukan selalu menyimpan dan menyebabkan terjadinya konflik antar etnik, baik yang bersifat latency maupun yang manifest (dalam aksioma, conflict approach) yang disebabkan oleh etnosentrisme, primordialisme dan kesenjangan sosial.
Wawasan Kebangsaan Dan Dinamika Konflik
Perbedaan antar golongan dalam sebuah negara yang majemuk seperti Indonesia merupakan sesuatu yang wajar dan lazim adanya, tetapi menjadi tidak wajar apabila perbedaan dijadikan alasan untuk saling menyerang atau mengucilkan satu golongan sehingga kemudian konflik terus dipelihara dan dibiarkan terus berkembang menjadi sebuah tindak kekerasan.
Eskalasi konflik sosial di Indonesia terjadi setelah adanya perubahan rezim dari era orde Baru ke Orde Reformasi. Perubahan ini ditandai dengan melamahnya Pemerintah Pusat dan berbagai institusi pemerintahan, seperti kepolisian dan militer. Selama kurun waktu 1998 – 1999 saja berbagai konflik terjadi di berbagai tingkatan, yang dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu: Pertama, konflik sosial antar ras berupa penjarahan pertokoan, pembunuhan dan pemerkosaan non pribumi bulan Mei 1998 di Jakarta.
Kedua, konflik sosial antar kelompok beragama berupa pembakaran dan pemboman gereja (peristiwa Ketapang, Jakarta), pembakaran mesjid (Kupang, NTT) dan kemudian menyebar ke Ambon, Januari 1999 dan Ujung Pandang, April 1999. Ketiga, Konflik sosial antar suku berupa perkelahian dengan pembunuhan antar suku di Sambas Kalimantan Barat. Keempat, konflik antar pusat dan daerah seperti Aceh, Irian dan Riau berhadapan dengan Pemerintah Pusat, termasuk TNI. Kelima, konflik sosial antar kelompok politik seperti terdapat dalam kasus santet di Jawa Timur, 1998, perbenturan antar partai di Purbalingga Jawa Tengah, 1999, bentrok bersenjata antar kelompok pro-integrasi dengan pro-kemerdekaan di Timor Timur (Abas, 2002).
Adapun dampak sosial yang ditimbulkan oleh konflik kekerasan tersebut, baik itu bernuansa etnik maupun politik, dampaknya tidak dapat terkirakan. Pertama, hancurnya sumber-sumber kehidupan dan mata pencaharian penduduk, hilangnya kepercayaan investor yang pada akhirnya mengakibatkan tingkat pendapatan masyarakat menurun drastis. Kedua, kebebasan berdemokrasi menjadi tertekan akibat adanya dominasi etnik tertentu dalam politik dan kekuasaan, sistem pelayanan dalam birokrasi menjadi terganggu, rusaknya struktur pemerintahan dan tatanan birokrasi pada atingkat lokal dan adanya gangguan stabilitas keamanan.
Ketiga, hancur dan retaknya nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang mengakibatkan nilai-nilai kearifan lokal pun semakin memudar. Konflik menyebabkan masyarakat yang bertikai menjadi terbatas dalam berinteraksi. Keempat, timbulnya rasa takut, bahkan mungkin saja menjadi paranoid yang berkepanjangan karena menyaksikan secara langsung pembunuhan dan kekerasan yang dilakukan oleh masing-masing etnik yang bertikai.
Era reformasi yang diharapkan menjadi gerbang ke arah terbentuknya negara modern, menghadapi tantangan besar dalam upaya tetap dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan. Kedewasaan dan kearifan kita tampaknya belum cukup matang untuk menyikapi berbagai konflik dan benturan kepentingan. Demikian halnya jika agenda reformasi politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam tidak lagi diletakkan dalam kerangka kebangsaan, maka mimpi buruk akan terjadinya disintegrasi bisa jadi akan menjadi kenyataan.
Dalam tatanan masyarakat maju dan mandiri, di mana lintas batas tidak lagi jelas, justru wawasan kebangsaan amat memegang peranan sentral. Wawasan kebangsaan bukan hanya menjadi push power untuk berpacu dan mampu bersaing dengan negara lain, tetapi secara simultan paham kebangsaan sekaligus juga menjadi daya tangkal terhadap berbagai upaya yang dapat mengancam eksistensi bangsa.
Di tengah makin terbukanya koridor dan bahkan otoritas suatu bangsa atas wilayahnya, wawasan kebangsaan atau nasionalisme menjadi perekat utama yang da-pat memberikan solusi terhadap berbagai masalah internal kebangsaan. Paling tidak ada penyikapan yang sama dalam merespon tantangan global yang makin signifikan jika seluruh komponen bangsa mendasarkan diri pada dasar kebangsaan (nasionalisme). Dalam konteks inilah siapa pun dan apapun peran kebangsaannya, harus secara konsisten dapat mengembangkan sikap nasionalismenya.
Hal pokok yang harus dipetik dan disepakati bahwa persatuan bangsa yang kita bangun tidak tersaji atas landasan dan kepentingan etnik, maupun primordialisme. Tidak juga bersifat temporer dan untuk waktu sementara. Persatuan nasional itu dibangun dan ditegakkan justru lebih didasari oleh landasan etik, dan kesadaran bersama sebagai satu bangsa sehingga nilai-nilai etika kebangsaan yang menyangkut persatuan dan kesatuan terbangun cukup kuat untuk mengakomodasikan berbagai perbedaan dan bahkan konflik kepentingan.
Manajemen Konflik: Sebuah Keharusan
Konflik dalam kehidupan masyarakat, didorong oleh perubahan, perbedaan dan pluralitas yang bergerak dialektik. Manajemen konflik diperlukan agar proses dialektika perubahan, perbedaan, dan pluralitas berjalan wajar, terbuka, cerdas dan mencerahkan guna menemukan sintesa baru yang adil dan dapat diterima sebagai keniscayaan sementara, dan bentuk-bentuk sintesa baru selalu lahir dan memperkaya kehidupan masyarakat.
Dalam manajemen konflik tidak ada penolakan terhadap perubahan, perbedaan dan pluralitas kehidupan masyarakat, baik dalam kegiatan sosial, ekonomi, politik, budaya maupun keagamaan, tetapi menjaga, mengelola dan mengarahkannya membentuk sintesa-sintesa baru. Karena itu masyarakat harus punya waktu dan kesempatan mendidik dirinya menjadi makin dewasa dalam menghadapi dinamika perubahan, perbedaan, dan pluralitas yang ada di dalam dirinya sendiri.
Itu sebabnya mengapa ketika konflik antar etnis, suku, golongan, kelompok politik dan agama itu muncul dan merebak ke mana-mana, lantas kita kebingungan sendiri, tidak tahu dan tidak mampu mengatasinya. Lemahnya kita menguasai manajemen konflik, disebabkan kurangnya pengalaman kita mengelola perbedaan dan pluralitas secara demokratik, dan aparat keamanan hanya mengenal cara-cara kekerasan saja, dan elite politik miskin wawasan pluralitasnya, kurang pengalaman dalam praktik demokrasi politik, sehingga kurang mampu mengendalikan kepentingan politik dan egoisme pribadinya yang berbenturan dengan kepentingan berbangsa dan bernegara. (Asyhari, 2005).
Oleh karena itu, ada dua hal yang harus mendapatkan perhatian serius, yaitu, pertama, terus menerus menumbuhkan “solidaritas emosional” dalam bingkai kebangsaan, sehingga interaksi antar etnis dapat menumbuhkan rasa kebersamaan. Pengelolaan negara pun harus diarahkan sedemikian rupa sehingga berbagai kebijakan yang dijalankan tidak menimbulkan perasaan termarginalisasi bagi suatu kelompok etnis tertentu. Kedua, nation building harus terus menerus ditumbuhkembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mewujudkan “solidaritas fungsional”, yaitu solidaritas yang didasarkan pada ikatan saling ketergantungan satu sama lain dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya. (KOMPAS, 20 Desember 2002).
Jadi, kata kuncinya adalah membangun kerja sama dan kemitraan antar pihak berkepentingan tanpa harus membeda-bedakan. Untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik di masa mendatang, kiranya langkah berikut perlu untuk dipertimbangkan:
- Memantapkan kembali nilai-nilai wawasan kebangsaan, terutama melalui jalur pendidikan. Karena pada dasarnya pendidikan bisa memainkan tiga fungsi sekaligus. Dalam jangka pendek memainkan fungsi instruksionalisasi, jangka menengah memainkan fungsi ekonomasi, dan jangka panjang memainkan fungsi kulturalisasi.
- Segenap pihak perlu membangun kesepakatan atau konsensus lokal dalam rangka mengantisipasi munculnya konflik dan gejolak, terutama bagi daerah yang potensial konflik. Konsensus lokal itu tidak hanya melibatkan elemen pemerintahan, tetapi juga tokoh-tokoh LSM, ormas, pers dan akademisi setempat. Melalui kesepakatan lokal itu diharapkan dapat dihasilkan, misalnya kode etik kehidupan bermasyarakat, kode etik kampanye, komitmen rule of law dan seterusnya.
- Mengevaluasi kembali berbagai kebijakan yang cenderung mempertajam konflik dalam masyarakat. Konflik tidak saja disebabkan semata-mata faktor masyarakat yang multi etnis, namun juga berbagai kebijakan nasional justru telah mendorong munculnya konflik, seperti kebijakan pemanfaatan sumber daya air, eksplorasi hutan lindung dan tentang pemerintahan daerah, terutama yang berkaitan dengan Pilkada Langsung sangat berpeluang munculnya konflik dalam kehidupan masyarakat.
- Perlu kembali digalakkan komunitas atau forum-forum warga dengan perspektif baru melalui pendekatan partisipasi dan kebutuhan lokalitas, di mana sejak reformasi dan era otonomi daerah forum-forum warga semakin menghilang, seperti kelompencapir, posyandu, UDKP, dan sebagainya. Forum ini sebaiknya didesain bukan hanya sekedar diskusi malinkan juga menjadi wadah untuk mencairkan perbedaan dalam masyarakat, sebagai early warning bila ada kejadian yang extra-ordinary.
2. Implikasi Rasa Nasionalisme
Berdasarkan atas pemahaman terhadap latar belakang pemikiran para pendiri Republik memenuhi harapan panitia, saya akan menyoroti “Pendidikan Nasional Dalam Rangka Membangun Negara Bangsa yang Cerdas Kehidupannya dan Implikasinya terhadap Pendidikan Kewarganegaraan” dengan secara berturut-turut :
(1) Pendidikan Nasional dalam Membangun Negara Kebangsaan di Era Globalisasi ;
(2) Pendidikan Nasional dan Pendidikan Kewarganegaraan;
(3) Pendidikan Kewarganegaraan yang Relevan dengan Penyelenggaraan Pertahanan Negara ;
(4) Beberapa Catatan Penutup.
I. Pendidikan Nasional dalam Membangun Negara Kebangsaan di Era Globalisasi
Di era globalisasi ini yang di negara maju masyarakatnya sudah memasuki era pasca moderen, ditanah air Indonesia ini ada kesan diabaikannya “pendidikan nasional” dan konsep negara kebangsaan. Padahal negara-negara yang sekarang termasuk dalam jajaran negara maju seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Perancis, Jerman, dan Jepang adalah negara maju yang kemajuannya didukung oleh sistem pendidikan nasional untuk membangun negara bangsa mereka masing-masing. Tingkah laku dan sikap politik Amerika Serikat yang melakukan berbagai expansi politik dan ideologi, hakekatnya merupakan perpanjangan dari persepsi dirinya sebagai negara bangsa dan peranannya secara aktif dalam percaturan dunia (dalam bahasa Pembukaan UUD 1945 ikut serta menciptakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi). Sikap Jerman dan Perancis yang hampir selalu berbeda dengan Amerika Serikat hakekatnya tumbuh dari persepsinya terhadap dirinya sebagai negara .
Di era globalisasi ini percaturan dunia dalam segala bidang, ekonomi, politik, IPTEK, didominasi oleh negara yang maju dalam segala bidangnya. Baik dalam kaitannya dengan World Trade Union (WTO), atau PBB segala keputusan yang hasilnya mempengaruhi hubungan antar negara dipengaruhi oleh negara-negara nasional yang unggul dalam segala bidang kehidupan dan itu dipengaruhi oleh sistem pendidikan nasional. Dalam kaitan dengan
II. Pendidikan Nasional dan Pendidikan Kewarganegaraan
Sesungguhnya pada saat pendiri Republik menetapkan pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang mewajibkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional”, dimaksudkan agar pendidikan dirancang, terutama pendidikan sekolah, untuk melahirkan warganegara Indonesia yang mendukung berkembangnya bangsa yang cerdas kehidupannya. Dengan kata lain pendidikan nasional hakekatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin, baik disiplin sosial maupun disiplin nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual, kemampuan profesional/atau vokasional, dalam rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan, serta dalam moral, karakter dan kepribadian. Manusia berkualitas seperti inilah yang diharapkan dihasilkan oleh proses pendidikan di sekolah. Dan atas dasar persepsi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan manusia yang berkualitas seperti inilah, mengapa senator John F Kennedy (1957) dan para Gubernur di Amerika Serikat mamandang bahwa keberhasilan Amerika Serikat dalam persaingan global ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran yang dialami peserta didik di sekolah. Secara empirik dan teoretik sejak industrialisasi, sekolah adalah lembaga sosial yang difungsikan untukmendukung dan membangun negara peradaban4), dan pendidikan nasional adalah berfungsi membangun negara bangsa 5)
Pertanyaannya adalah “Sistem Pendidikan Nasional seperti apa yang dapat berfungsi menunjang Pembangunan Bangsa ?” Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara lengkap jawaban atas pertanyaan tersebut karena untuk itu ada artikel tersendiri yang telah ditulis6) (yang bersama ini saya lampirkan sebagai pelengkap). Dalam pandangan penulis, yang menentukan kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara menghasilkan manusia berpendidikan yang mampu mendukung lahirnya negara bangsa yang kuat, disamping mutu proses pembelajarannya yang bermakna sebagai proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap, adalah manajemen dan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dari segi pembiayaan inilah saya akan menyoroti dampaknya kepada pembangunan loyalitas dan kebanggaan warga bangsa kepada negara bangsa.
sepenuhnya oleh Pemerintah (Federal dan Negara Bagian), dan Pemerintah Federal tetap menyediakan dana 100 milyard US dollar untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah8). Model pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional seperti inilah dalam pemahaman saya, merupakan salah satu faktor yang menentukan rasa kebangsaan, kebanggaan sebagai warga suatu bangsa, dan loyalitas terhadap negara bangsa. Karena itu kita menyaksikan betapa bersatunya rakyat Amerika Serikat pada saat menghadapi krisis, baik Perang Dunia II, September 11, dan Huricane Katrina.
III. Pendidikan Kewarganegaraan yang Relevan Dengan Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pasal 4 menetapkan bahwa tujuan Pertahanan Negara adalah “menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah, NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman”. Dalam pada itu disadari bahwa kemanapun suatu negara bangsa dalam pertahanan negaranya ditentukan oleh kemampuannya menggunakan dan mendayagunakan segala sumber daya nasional, terutama sumber daya manusianya. Karena itu para pemimpin negara yang telah mantap, sejak dini, sebelum menjadi negara besar dan makmur, telah menetapkan peningkatan sumber daya manusia sebagai prioritas bagi peningkatan kemampuan nasional. Karena itu mereka sejak abad ke-19, baik Perancis, Jerman, maupun Amerika Serikat telah menetapkan kebijaksanaan yang menetapkan pendidikan wajib dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah . Suatu paradigma yang dianut bahkan sejak jaman Yunai Kuno dan diikuti sampai sekarang. Plato, 4 abad sebelum Masehi memandang pendidikan sebagai unsur yang essensial bagi pembangunan masyarakat bangsa, karena itu pendidikan sekolah harus bebas dari pungutan biaya, yang menurut Braumbaugh, yang mentafsirkan pandangan Plato dari bukunya “The Republic”, Plato berpandangan sebagai berikut :
(1) Kondisi fisik setiap warga negara yang meliputi kesegaran/kesehatan dan daya tahan merupakan prasyarat utama bagi kesiapan dan tanggapnya seseorang untuk dapat melakukan kewajiban membela negara. Karena itu hampir semua negara demokratis meentapkan pelayanan kesehatan kepada warga negara merupakan tanggung jawab utama pemerintah. Di negara-negara yang telah disebut dalam tulisan ini, termasuk Jepang, pelayanan kesehatan dan pemberian makanan bergizi bagi anak usia sekolah dasar merupakan urusan pemerintah karena memamng sukar dibayangkan tingkat ketahanan suatu negara dengan tingkat kebugaran/kesehatan dan daya tahan fisik warga negara yang rendah. Di negara-negara tersebut olah raga juga merupakan bagian yang essensial dari penyelenggaraan pendidikan
(2) Kondisi kemantapan kepribadian, termasuk didalamnya kemantapan emosional dan intelektual, meliputi disiplin pribadi, disiplin sosial, disiplin kerja, dan disiplin nasional, etos kerja serta kemampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan berdasarkan informasi. Karakteristik warga negara yang demikian secara potensial akan siap diabdikan kepada hak dan kewajibannya membela negara.
(3) Kemantapan politik dan ideologi seorang warga negara, hakekatnya merupkan perwujudan dan pemahaman dan keyakinannya akan kebenaran sistem kenegaraan yang dianut bangsanya. Untuk itu pengetahuan dan pemahaman akan latar belakang sejarah dan filosofi dari diterapkannya suatu sistem sosial – politik negara bangsanya sangatlah diperlukan. Untuk itu pulalah setiap negara demokratis mengenal program wajib belajar dengan tujuan utamanya adalah menjadikan setiap warga negara memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar yang sama tentang sistem sosial – politik negara bangsanya.
tujuan struktur materi, suasana dan model pembelajaran yang dapat menghasilkan warga negara terdidik yang :
(1) memahami sejarah, dan landasan filosofis dari sistem sosial negara bangsa Indonesia
(2) memahami dan meyakini bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah pilihan terbaik bagi kelangsungan, keutuhan, dan kejayaan Negara Bangsa Indonesia
(3) memahami dan meyakini bahwa keutuhan, keamanan, dan kelestarian NKRI adalah tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia
(4) memahami bahwa NKRI sebagai negara kepulauan memerlukan strategi geopolitik yang ampuh dan untuk itu memerlukan dukungan sistem pertahanan yang tangguh.
(5) memahami bahwa keampuhan sistem pertahanan negara akan ditentukan oleh dukungan seluruh warga negara bangsa Indonesia
3. Kebijakan Publik tentang rasa Nasionalisme
Orientasi Kebijaksanaan Nasional di Kawasan Pasifik.
Hilangnya Uni Soviet dari peta geopolitik dunia seakan-akan menjadi pertanda adanya reorientasi masyarakat dunia kepada kepentingan ekonomi, yang selama ini dianggap tidak menempati prioritas utama. Seluruh sumber daya dan kemampuan diarahkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, baik nasional, regional, global. Tidak ada kebijaksanaan maupun strategi yang tidak diwarnai oleh kepentingan ekonomi. Ekonomi kadang-kadang dikatakan seakan-akan menjadi komando, dan oleh karena itu permainan geopolitik telah berubah menjadi geoekonomi. Dikaitkan dengan kenyataan adanya proses globalisasi, maka semakin sulit pula mengariskan kebijaksanaan nasional tanpa mempertimbangkan kaitan atau konsekuensi, atau bahkan persyaratan internasional yang ada. Dengan perkataan lain, tiap kebijaksanaan dan strategi nasional semakin syarat dengan pertimbangan internasional . Situasi yang demikian semakin diperkuat lagi dengan adanya kenyataan bahwa setiap pasar domistik sekarang ini telah teruntai menjadi satu kesatuan pasar global, sehingga baik kepentingan maupun kendala saling kait mengkait.
Dalam keadaan seperti itu, pencapaian sasaran tingkat pertumbuhan ekonomi nasional tidak cukup hanya dijamin oleh stabilitas nasional saja, akan tetapi harus diperkuat atau ditopang oleh stabilitas lingkungannya mulai dari lingkuangan subregional, regional maupun global. Hal ini kiranya cukup dapat diterima akal karena adanya kait-mengkait seperti yang telah diuraikan diatas. Bagi Indonesia lingkungannya regional yang amat penting artinya adalah lingkungan regional pasifik, karena kawasan itu dimasa depan akan menjadi ladang perekonomian yang amat penting bagi bangsa kita. Karena itu, terciptanya keamanan dan perdamaian kawasan Pasifik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kepentingan kita dalam menjamin stabilitas nasional serta kelancaran pembangunan nasional.
Jika kita simak kegiatan ekonomi dan perdagangan lintas Pasifik, maka sekarang ini volume kegiatan disana sudah lebih dari separuh nilai perdagangan dunia dan cenderung akan terus meningkat, karenanya patut diduga bahwa kawasan pasifik akan menjadi pusat grafitasi masa mendatang. Dengan demikian pembentukan ARF atas prakarsa ASEAN sungguh merupakan satu langkah yang sangat strategis, dan oleh karenanya forum itu akan terus dikembangkan untuk dapat menampung kepentingan bersama dalam mewujudkan stabilitas kawasan dengan harapan pada ujungnya akan membuahkan kemakmuran bersama.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasionalisme adalah suatu gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai bangsa. Munculnya nasionalisme pada masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh faktor dari dalam ( intern ) dan faktor dari luar ( ekstern ). Ada tiga konsep lain yang berhubungan dengan nasionalisme antara lain Patriotisme, Chauvinisme, dan Sukuisme. Rasa kebangsaan adalah salah satu bentuk rasa cinta yang melahirkan jiwa kebersamaan pemiliknya.
Semangat kebangsaan merupakan perpaduan atau sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Paham kebangsaan merupakan pemahaman rakyat serta masyarakat terhadap bangsa dan negara.
B.Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat, lebih dan kurangnya dalam pembuatan dan pencetakan penulis haturkan mohon maaf. Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan karena dapat membantu dalam penyelesaian makalah lain di kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam proses belajar mengajar dalam kelas. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar