Farmakologi  adalah cabang dari ilmu farmasi yang mempelajari tentang penggunaan  obat untuk diagnosa,pencegahan dan penyembuhan penyakit.farmakologi  berasal dari kata farmakon yang berarti obat dan logos yang berarti  ilmu,sehingga disebut juga farmakologi sebagai ilmu yang mepelajari  tentang obat.Obat didefiniskan oleh sebagai suatu zat kimia tunggal atau  campuran yang berasal dari alam maupun hasil sintesis baik  nabati,hewani,mikroorganisme dan mineral yang mempunyai aktivitas  biologi dan dapat dipergunakan untuk  diagnose,preventif,kuratif,rehabilitatif,penyakit dan promosi kesehatan.
    II.            Ruang lingkup farmokologi
 Pada  prinsipnya pokok permasalahan didalam farmokologi dikatakan bahwa obat  akan mengalami 3 fase perjalanan didalam tubuh,yaitu : 
1.      Fase  biofarmasi (farmasetika) adalah ;suatu fase waktu yang dimulai dari  sejak digunakannya sediaan suatu obat melalui mulut sampai pelepasan zat  aktifnya kedalam cairan tubuh disaluran pencernaan (lambung ) atau  melalui cara lainnya dan siap untuk diabsorpsi.
2.      Fase  farmakokinetika adalah fase waktu yang dimulai dari zat aktif obat  terlepas dari bentuk sediaannya,terlarut dan diabsorpsi oleh daran dan  didistribusikan melalui pembuluh darah menuju jaringan tubuh.
3.      Fase farmakodinamika adalah fase  waktu  yang dimulai dari sejak berinteraksinya zat aktif obat dengan zat  penerima (reseptor)didalam sel jaringan sampai timbulnya efek terapi (  respon biologik ) didalam tubuh.
 III.            Konsep Dasar Farmakodinamika
adalah fase  waktu  yang dimulai dari sejak berinteraksinya zat aktif obat dengan zat  penerima (reseptor)didalam sel jaringan sampai timbulnya efek terapi (  respon biologik ) didalam tubuh.
A.       Mekanisme Obat
Efek  obat terjadi karena interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit  aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dalam tubuh. Obat bekerja  melalui mekanisme sbb:
1.    Interaksi obat-reseptor
Obat-Reseptor  memberikan efek farmakologi, disebut agonis. Contoh: agonis reseptor  kolinergik/muskarinik. carbakol, arecolin, methakolin, pilokarpin.  Obat-Reseptor menghalangi obat lain memberikan efek farmakologi, disebut  antagonis. Contoh: antagonis reseptor kolinergik  atropine, ipatropium, skopolamin.
2.    Interaksi obat-enzim
Contoh: obat penghambat enzim asetil kolin esterase (ACE) sehingga memberikan efek kolinergik.contoh neostigmin, parathion.
 Kerja non-spesifik (tanpa ikatan dengan reseptor atau enzim)
Contoh: Na-bikarbonas (merubah pH cairan tubuh), alcohol (denaturasi protein), norit (mengikat racun atau bakteri)
Contoh: Na-bikarbonas (merubah pH cairan tubuh), alcohol (denaturasi protein), norit (mengikat racun atau bakteri)
3.    Reseptor Obat
Reseptor  dapat berupa protein, asam nukleat, enzim, karbohidrat atau lemak yang  merupakan bagian dari sel, ribosom, atau bagian lain. Semakin banyak  obat yang menduduki reseptor, berbanding lurus dengan kadar obat dalam  plasma. Reseptor yang umumnya dikenal a.l. reseptor  kolinergik/muskarinik, reseptor alfa-adrenergik (alfa-1 & alfa-2),  reseptor beta-adrenergik (beta-1 & beta-2).
4.    Transmisi SinyalObat
Interaksi  obat dengan reseptor mengasilkan bisa menghasilkan efek agonis, agonis  parsial, antagonis kompetitif dan antagonis non-kompetitif.
5.    Interaksi Obat-Reseptor
Interaksi obat-reseptor sering dianalogikan sebagai gembok kunci.  Obat adalah Kunci,Reseptor adalah Gembok.Kecocokan obat dengan reseptor  tertentu tergantung pada struktur molekulnya.Kerja Obat yang Tidak  Diperantarai Reseptor disebut juga Kerja Non Spesifik.
   IV.           Farmakokinetik
fase  waktu yang dimulai dari zat aktif obat terlepas dari bentuk  sediaannya,terlarut dan diabsorpsi oleh daran dan didistribusikan  melalui pembuluh darah menuju jaringan tubuh.Farmakokinetika  merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu  absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME). Obat yang  masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami  absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan  menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat  diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses  farmakokinetika
1.         Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua  istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses  penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan  kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari  jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting  ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen  terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk  utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua  yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik.  Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian  oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ  tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas  pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi  prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak  begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi  istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan  absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi  sistemik.Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi  dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual  (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
2.         Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.
3.         Biotransformasi / Metabolisme
Biotransformasi  atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang  terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul  obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan  kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui  ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga  biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada  obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada  obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim  biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi  lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.Enzim yang  berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya  dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum  endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan  enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat  dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya  ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
4. EkskresiObat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosisatau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu.Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar